Drama hukum di
Indonesia seakan tiada akhir. Pilu dan penuh nestapa. 17 Tahun
reformasi, profesionalitas aparat penegak hukum masih terus
dipertanyakan.
Dalam catatan detikcom, Minggu
(15/1/2017), kasus terakhir dialami penjual cobek miskin, Tajudin. Warga
Pandeglang itu ditangkap pada 20 April 2016 malam.
Polisi dari Polres Tangerang
menggerebeknya dengan tuduhan mempekerjakan dua anak, Cepi dan Dendi.
Padahal, dua anak itu masih kerabatnya.
"Saya katanya melakukan penjualan
orang, mempekerjakan orang. Cuma saya merasa tidak mempekerjakan, saya
suruh dia sekolah tidak mau. Orang tuanya yang menitipkan, mereka
keponakan saya," ujar Tajudin.
Tapi alasan itu tidak didengar aparat
kepolisian. Tajudin langsung dijeblosin ke sel dan dituduh melanggar UU
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan ancaman 15 tahun penjara.
Setelah kasusnya sampai ke pengadilan, Tajudin dituntut 3 tahun penjara
dan denda Rp 150 juta.
Di palu hakim, tuduhan polisi dan
jaksa tidak memenuhi unsur perdagangan orang. Perjuangan tim LBH
Keadilan dikabulkan majelis hakim.
"Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah
biasa membantu orang tuanya," ucap majelis hakim dengan suara bulat,
Kamis (12/1).
Tajudin bebas setelah 9 bulan menghuni penjara.
Kasus ini bukan yang pertama. Di
Semarang, peradilan sesat menyeret kasir karaoke Sri Mulyati ke penjara
pada 2012 silam. Ia dituduh mempekerjakan anak di bawah umur, padahal ia
bukanlah pemilik karoke.
Polisi, jaksa dan hakim tetap
melegalisasi tuduhan itu hingga Mahkamah Agung (MA) membebaskan Sri
setelah 13 bulan menghuni jeruji besi. Tapi lagi-lagi, ganti rugi yang
dituntut Sri lewat LBH Mawar Saron terhadap negara sebesar Rp 5 juta,
tidak kunjung dikabulkan negara. Gemerincing uang masih jauh panggang
dari api.
Ada pula pemulung di Kemayoran,
Jakarta Pusat, Chairul Saleh, yang juga menjadi korban aparat penegak
hukum pada 2009 lalu. Ia dituduh memiliki selinting ganja di rumah
bedengnya di tepi rel kereta api. Ia akhirnya divonis bebas setelah
menghuni penjara lebih dari 6 bulan.
Ada pula buruh pabrik, Krisbayudi yang
mengalami perlakuan serupa pada 2013. Tidak tanggung-tanggung, Kris
dituduh aparat Polda Metro Jaya terlibat kejahatan kelas I yaitu
pembunuhan ibu dan anak disertai mutilasi.
Setelah mendapatkan penganiayaan, ia
akhirnya divonis bebas setelah 8 bulan menghuni penjara. Kris
nyata-nyata tidak terlibat. Pelaku sebenarnya, Rahmat Awafi akhirnya
dihukum mati dan kini masih menunggu eksekusi mati di dalam LP Cipinang.
(dtk)
0 Response to "17 Tahun Reformasi, Si Miskin Dipenjara Tanpa Dosa, Dari Pemulung hingga Penjual Cobek "
Post a Comment